Rabu, 04 Januari 2012

Kehidupan Muslim di Kota Seni dan Budaya, Jeonju Korea Selatan



Pagi yang sejuk dan lengang selalu mewarnai kota kecil yang terletak di Korea Selatan ini. Jeonju, kota yang dihuni oleh sekitar 645.000 orang ini merupakan ibukota Jeollabuk-do atau provinsi Jeolla Utara. Berbeda dengan kebanyakan ibukota provinsi, kehidupan Jeonju justru sangat jauh dari sibuknya kehidupan kota. Bahkan tak ada pula jalur subway seperti ibukota provinsi lain di Korea Selatan.
Pemerintah Korea Selatan sendiri memilih mempertahankan Jeonju sebagai kota budaya yang bisa dibilang tak terjamah dengan hiruk pikuk kehidupan kota. Damai dan tenteram. Setidaknya mudah sekali menemukan ketenangan hidup dalam kota sederhana ini. Di dekat pusat kota, berdiri lebih dari 500 rumah traditional Korea sehingga wilayah tersebut dinamai Hanok Village yang kemudian menjadi pusat kebudayaan di Jeonju.



Di sisi lain kota, sebuah bangunan yang tak kalah khasnya dibangun di sana. Selaras dengan reputasi Jeonju sebagai kota budaya, dibangun sebuah masjid dengan perpaduan arsitektur Islam dan Korea. Kubah khas masjid dipadukan dengan atap khas Korea menunjukkan harmoni antar keduanya.
Siapa kira, Islam tumbuh dan berkembang di kota kecil ini. Sejarah menunjukkan bahwa Islam memang telah hadir semenjak jaman kerajaan di Korea. Pada abad ke-9, para pedagang Arab dan Persia singgah ke Korea di mana saat itu dinasti Silla sedang berkuasa. Sedangkan komunitas Muslim sendiri baru dibangun setelah pecahnya perang Korea sekitar tahun 1954. Saat itu tentara Turki ikut membantu Korea Selatan sambil menyebarkan ajaran Tauhid di Korea.
Masjid Jeonju sendiri, merupakan masjid keempat yang menjadi saksi berkembangnya Islam di Korea. Masjid ini kemudian diberi nama Masjid Abu Bakar Al Siddiq yang merupakan lambang kecintaan terhadap shahabiyah. Ini menandakan bahwa dalam perjuangannya, Nabi SAW senantiasa didampingi oleh sahabat-sahabat yang luar biasa dan sangat setia.
Masjid ini didirikan atas prakarsa Dr. Abdul Wahab Zahid yang juga menjadi imam Masjid Abu Bakar Al Siddiq dan salah satu imam besar di Korea Selatan. Tahun 1980-an, seorang sahabat memberinya modal bisnis. Akan tetapi sang imam memilih menggunakan uang tersebut untuk jalan dakwah dengan mendirikan sebuah masjid di Jeonju. Tahun 1985, pembangunan masjid di mulai dan selesai satu tahun kemudian. Sebelumnya, dakwah dengan kuliah umum dilakukan di tenda-tenda, tak peduli bagaimana panasnya summer atau dinginnya winter.
Dalam perjalanannya Dr. Abdul Wahab Zahid, seorang mufti asal Syiria, yang akrab dengan nama Korea, Hak Ap Du, telah berhasil meng-Islamkan banyak warga asli Korea. Bahkan beliau juga menjalin hubungan baik dengan keluarga Muslim asli Korea, menganggap mereka sebagai bagian dari keluarganya. Tak tanggung-tanggung, beliau juga hadir memberikan khutbah di 6 masjid lain di Korea secara bergantian. Khutbah yang disampaikan biasanya menggunakan 3 bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Arab dan Korea. Beliau juga membuka peluang selebar-lebarnya bagi warga Korea yang ingin mengetahui dan belajar Islam lebih dalam.
Sampai saat ini, tercatat ada 424 muslim asli Korea yang tinggal di Jeonju. Setiap Bulan Ramadhan, mereka berbaur dengan muslim dari negara lain. Mereka bergantian membuat makanan untuk berbuka puasa bersama setiap minggunya. Setelah itu, sholat maghrib, isya dan tarawih dilakukan secara berjamaah di dalam masjid.Sungguh unik, setiap minggunya, para jamaah bisa merasakan makanan khas dari berbagai negara.
Menurut sang imam, pemerintah Korea sendiri cukup terbuka. Mereka tidak pernah melarang ajaran Islam masuk. Kedepannya, Dr. Abdul Wahab Zahid berharap agar semakin banyak yang menganut ajaran monotheisme ini. Keberadaan Islam memang telah mewarnai keberagaman di tengah-tengah hiruk pikuk serta hedonisnya kehidupan di negeri yang terkenal dengan nama The Land of Morning Calm, Korea. Khususnya di sebuah kota kecil bernama Jeonju.
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/silaturrahim/kehidupan-muslim-di-kota-seni-dan-budaya-jeonju.htm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar